Pagi itu seperti biasa saya berangkat kekampus dengan sepeda motor saya, saya melaju dengan cepat agar tidak ketinggalan waktu, karena memang jarak indekos saya sedikit jauh dari kampus, saya harus sedikit ngebut . tapi sedikit sial, posisi saya di lampu merah. walaupun tidak lama, kadang juga bikin kesal, apalagi dengan posisi buru buru.
”Koran, koran, serambi indonesia, waspada, Tempo, Republika, pro haba!” tiba terdengar teriakan seorang bocah laki-laki menawarkan koran kepada pengendara mobil didepan saya. “Koran, Bang!”seorang bocah lain menawari ku untuk membeli koran. Tangan mungilnya dengan cekatan memilih koran yang kuminta diantara tumpukan koran dagangannya.
”Ini Bang, korannya.” Dia memberi koran yang aku minta kepadanya. “Nih ada kembaliannya enggak?” kataku sambil menyodorkan uang Rp 50.000 kepadanya. “Beres Bang, pasti ada.” segera dikeluarkan kembaliannya dari tas gembloknya yang kotor. “Wah pagi-pagi uangnya udah banyak ya,” kataku kepada bocah tersebut.
“Allhamdulilah Bang, rezeki saya lagi lancar” katanya sambil tersenyum senang. Dan setelah itu diapun berlalu menawarkan Koran kepada para pengemudi lainnya. dan tak lama kemudian lampu hijau pun menyala, aku terus melaju kencang mengejar waktu agar tidak terlambat masuk kuliah.
Tanpa sadar saya teringat tentang bocah penjual koran yang gigih mencari uang, dengan menawarkan daganganya kepada semua orang yang datang dan pergi silih beranti. Sepintas saya teringat ketika keringat membasahi wajahnya yang tegar dalam usia beliaya harus berjuang memperoleh uang secara halal dan sebagai pekerja keras.
esoknya, aku mendapatkan jadwal masuk siang, cuma satu MK, jadi aku tidak buru ke kampus.
tepat di perempatan jalan, sambil menunngu temanku, aku sarapan di warung kecil dengan makan bu prang (nasi murah siap saji, 3000 rupiah perbungkus) dengan teh hangat.
”Koran, bang, ada korang serambi, ada berita bagus hari ini nih bang, atau ini, ada kabar bagus mengenai pilkada aceh,” katanya bagai seorang marketing ulung tanpa menyerah dia menawarkan koran kepada ku yang pada akhirnya menyerah dan membeli satu koran yang disebut sang bocah tersebut.
Sambil memperhatikan terbersit rasa kagum dan rasa haru kepada bocah tersebut, dan memperhatikan betapa gigihnya dia berusaha, hanya tampak senyum ceria yang membuat semua orang yang ditawarinya tidak marah. Tidak terdapat sedikit pun rasa putus asa dalam dirinya, walaupun terkadang orang yang ditawarinya tidak membeli korannya. Sesaat mungkin bocah tersebut lelah menawarkan korannya, dan dia terduduk disampingku, “Kamu enggak sekolah, Dik?” tanyaku kepadanya. “Enggak, Bang, saya tidak ingin sekolah tinggi-tinggi,” katanya.
“Enggak ada biaya, Dik?" tanyaku menyelidik. “Bukan Bang, walau saya tukang koran, saya punya cita-cita.” jawabnya. “Maksudnya, kan dengan sekolah kamu bisa mewujudkan cita-cita kamu dengan lebih mudah,” kataku menjawab.
“Aku sering baca koran, Bang, banyak orang yang telah sekolah tinggi bahkan sarjana tidak bekerja alias nganggur. Mending saya walau sekolah tidak tinggi saya punya penghasilan, Bang,” katanya berusaha menjelaskan kepadaku.
“Abangku tidak sekolah bisa buka agen koran. Penghasilan sebulannya bisa 3-4 juta, Bang. Saya baca di koran, gaji pegawai honorer cuma 700 ribu, jadi buat apa saya sekolah, Bang,” tanyanya kepadaku.
Saya mengerutkan kening, tertanda saya tekejut dengan jawaban bocah kecil tersebut pemikiran yang tajam, dan sebuah keritik yang dalam buat saya yang seorang sarjana. Dalam hati saya membenarkan perkataan anak tersebut, Saya pun tersenyum mendengar jawaban anak tersebut.
Kemudian teman saya pun tiba dan saya meninggalkan bocah tersebut tanpa bisa menjawab pertanyaanya, apa tujuan kita sekolah, menjadi sarjana. Karena banyak sarjana sekarang yang begitu lepas kerja mengaggur, tidak punya penghasilan, dan banyak juga karena belum bisa bekerja yang melanjutkan S2 dengan alasan ingin mengisi waktu luang dan menambah nilai jual dirinya. Tapi pernyataan bocah penjual koran tersebut menyadarkan saya tentang rejeki dan tujuan dari bersekolah, yang saat ini saya mungkin kalah dengan bocah kecil tersebut, walau saya seorang yang mempunyai penghasilan dan mempunyai suatu jabatan saya hanyalah manusia gajian, saya hanya seorang buruh.
Beda dengan bocah kecil tersebut, dalam usia belia dia sudah bisa menjadi majikan untuk dirinya sendiri. Sungguh hebat pemikiran lugu bocah penjual koran tersebut. pembalajaran yang menarik dari seorang bocah kecil yang setiap hari kutemui. Rezeki Tuhan sungguh tidak terbatas, tinggal kemauan kita untuk dapat berusaha menggapainya. Pelajaran dapat di peroleh tidak hanya di pendidikan formal, Dan dunia pun banyak memberi pelajaran untuk kita.
Post a Comment