Headlines News :
    Showing posts with label sejarah aceh. Show all posts
    Showing posts with label sejarah aceh. Show all posts

    Siapakah Malik Mahmud Yang Diangkat Menjadi Wali Nanggroe Aceh?

    Tulisan ini ditujukan untuk meluruskan pemahaman tentang keberadaan Majelis Pemerintahan Gerakan Aceh Merdeka (MP-GAM). Sangat disesalkan, ambisi-ambisi kekuasaan beberapa orang yang berada dilingkaran gerakan perjuangan telah menyebabkan terjadinya pertikaian antar sesama petinggi GAM.
    Bahkan orang yang tidak bersalah pun ikut menjadi korban fitnah tersebut. Tulisan ini tidak ditujukan untuk membuka aib orang lain, apalagi hal itu menyangkut tentang eksistensi kawan seperjuangan.
    Tetapi mengingat adanya kesimpang-siuran sejarah yang sengaja diciptakan, yang boleh jadi akibat dari infiltrasi kepentingan-kepentingan asing guna mengacaukan konsolidasi internal, maka tulisan ini kiranya perlu saya tuliskan. Konon lagi saat ini, berita-berita fiktif itu telah berkembang dalam masyarakat Aceh, dan belum ada pihak yang memiliki otoritas sejarah yang berani meluruskannya. Almarhum Tgk Hasan M. di Tiro pernah berpesan ”sesuatu yang salah akan dianggap benar, bila kebanyakan orang mengatakan itu benar, sebaliknya kebenaran yang diketahui harus ditegakkan meskipun kita hanya seorang diri”
    .Sedikit flash back, MP-GAM adalah organ yang dibentuk di Kuala Lumpur pada tahun 1999, oleh para senior GAM yang masih setia kepada perjuangan. Inisiatif pembentukan majelis ini merupakan sikap antisipatif mengingat kondisi kesehatan Wali yang mulai menurun akibat terkena stroke pada Agustus 1997, ditambah lagi dengan fakta rancunya konsolidasi perjuangan setelah diambil alih oleh Malik Mahmud
    Malik telah menyingkirkan relatif 90% para loyalis perjuangan di Stockholm dan Malaysia, termasuk diantaranya Panglima Angkatan Darat Tgk. M. Daud Husin. Beberapa tokoh penting generasi awal sudah tidak lagi mendapat tempat. Sebaliknya Malik pun mulai membangun hegemoni kekuasaannya bersama orang-orang yang relatif mudah dikendalikannya. Secara tidak langsung, bisa kita simpulkan bahwa Malik telah melakukan Kudeta Garis Kepemimpinan
    Banyak orang yang lupa atau tidak mengetahui bahwa (alm.) Tgk. Hasan M. di Tiro telah membentuk Majelis Negara dan menandatangani dekrit pada tanggal 17 Maret 1979, sesaat sebelum beliau berangkat keluar negeri. Dekrit tersebut menegaskan bahwa dalam kondisi Wali Negara yang absen, misalnya karena sakit atau keluar negeri, maka Pemerintahan dijalankan oleh Majelis Menteri (Council of Ministers), yang dikepalai oleh Perdana Menteri dengan beberapa orang Wakil Perdana Menteri. Dalam kondisi absen tetap, seperti kematian, maka kepemimpinan digantikan secara berturut-turut sesuai dengan ranking senioritas yang telah ditentukan sebagai berikut: Perdana Menteri-1 (PM-1): Dr. Mokhtar Y. Hasbi, Wakil PM-1: Tgk. Haji Ilyas Leube, Wakil PM-2: Dr. Husaini Hasan, Wakil PM-3: Dr. Zaini Abdullah, dan Wakil PM-4: Dr. Zubir Mahmud
    Urutan ini diatur berdasarkan senioritas kepemimpinan dalam Central Comittee National Liberation Front of Atjeh Sumatra. Hal ini termaktub dalam buku ”The Unfinished Diary of the Tgk. Hasan di Tiro”, edisi 1982 halaman 219. Buku yang sama telah diterbitkan ulang pada tahun 1986 tetapi dengan beberapa perubahan isi dan substansi karena alasan pragmatism dan kepentingan dan justifikasi kekuasaan
    Dekrit tersebut juga dikuatkan dan ditandatangani oleh para Madjelis Menteri dalam pertemuan di Jengki Wilajah Peureulak awal tahun 1980, dua bulan setelah Tgk. Hasan berangkat keluar negeri. Pertemuan ini diikuti oleh Dr. Mokhtar Y. Hasbi, Tgk. Hadji Ilyas Leube, Dr. Husaini Hasan, dan Dr. Zubir Mahmud. Sedangkan dr. Zaini Abdullah berada di Wilayah Pidie bersama Tgk. Mohammad Daud Husin. Menteri-menteri lainnya sebagian telah ditangkap seperti Tgk. Mohammad Tahir Husin, atau yang dipenjarakan seperti Tgk Muhammad Lampoih Awe dan sebagian lagi telah ”turun gunung”
    Dua menteri yang lain tinggal tetap di Singapura yaitu Malek Mahmud dan abangnya, Amir Mahmud. Para inisiator pembentukan MP-GAM diantaranya adalah Tgk Idris Mahmud (Gubernur Wilayah Peureulak), Tgk. Muhammad Mahmud (Panglima Wilayah Peureulak), Tgk. Abdullah Krueng (Ketua Majelis Orang Tuha di Kuala Lumpur), Tgk. Robert Suryadarma (Panglima Aceh Besar), Tgk. Sulaiman Amin (Panglima Wilajah Batee Iliek) dan sejumlah petinggi lulusan Libya angkatan pertama
    Lembaga ini difungsikan sebagai Majelis Pemerintahan Darurat bila pimpinan tertinggi gerakan berada dalam kondisi in-absentia. Disaming itu, inisiatif ini juga merupakan respon atas melemahnya konsolidasi di bawah kepemimpinan Malek Mahmud. Malek telah mengganti secara radikal semua garis kepemimpinan yang sebelumnya ada. Sejumlah dokumen hasil rapat telah dikirimkan ke Markas Besar GAM di Eropa untuk persetujuan lebih lanjut. Markas Besar membahas dokumen-dokumen tersebut dan memutuskan untuk mendukung keberadaan Majelis
    Restu dari MB ini meninggalkan ketidakpuasan di lingkaran kepemimpinan Malik Mahmud yang bermuara pada pembunuhan Tgk. Haji Usman Pasi, Tgk. Abdul Wahab dan Teuku Don Zulfahri. Lebih jauh dari itu, MP-GAM difitnah sebagai agen Jakarta, yang bekerjasama dengan pemerintah Republik Indonesia dan sepakat menerima otonomi untuk Aceh. Tak ayal, fitnah ini pun berkelanjutan sehingga timbul ancaman dan pengkambing-hitaman untuk setiap kegagalan perjuangan GAM
    Namun hari ini, rakyat bisa menilai sendiri, siapa sebenarnya yang menerima otonomi Aceh? Atau siapa mengkhianati Proklamasi 1976, serta membubarkan Gerakan Perlawanan?
    Sementara Gerakan yang dipandu oleh Malek Mahmud dan Zaini Abdullah juga telah dibubarkan dan diganti dengan Partai Aceh (PA) yang hari ini sedang disibukkan dengan beberapa agenda pragmatis, seperti merebut kursi Gubernur
    Besar harapan, tulisan singkat ini bermanfaat bagi generasi muda Aceh, terutama dalam melihat sejarah Aceh secara objektif dan bebas dari fitnah-fitnah kelompok yang berkepentingan. Sebagai salah seorang pelaku sejarah, saya merasa hal ini perlu diluruskan agar-cita-cita meraih kedaulatan sebagai bangsa yang berharga diri, serta dalam rangka menwujudkan perdamaian serta keadilan, bisa kita capai bersama-sama. Masih banyak hal yang bisa saya bagikan (sharing) dan perlu kita diskusikan lebih jauh, berdasarkan data dan fakta yang ada. Kepada Allah juga kita memohon ampunan-Nya.
    Beberapa pejuang Atjeh merdeka tahun 70an meminta saya untuk menyampaikan siapa sesungguhnya Malik Mahmud yang disebut-sebut sebagai Meuntroe Malek. Tanpa bermaksud menyebarkan gossip apalagi fitnah keji, namun karena niat baik dan tulus demi generasi muda Aceh yang akan datang dan demi konsistensi sikap para pejuang tua AM maka saya menyampaikan fakta-fakta sesuai pengalaman hidup yang saya ketahui selama ini
    Malik Mahmud selama ini menggelari dirinya sebagai Meuntroe Malek bahkan dalam draft qanun Wali nanggroe yang dirancang oleh sebagian besar anak-anak Partai Aceh menempatkan Malik Mahmud sebagai Perdana Menteri dan setelah wafatnya Yang Mulia Paduka Hasan Tiro maka Malik Mahmud bersiap untuk menggantikannya. Padahal sesungguhnya nama sebenarnya adalah Khila Bin Mahmud alias Malik Haytar Bin Mahmud. Dia tinggal bersama Ibunya di Singapura, tidak berapa fasih berbahasa Aceh. Ayahnya keturunan India yang lahir di Aceh. Dulu dia tukang tenteng (bawa) tas Hasan Tiro. Dia menjadi dalang pengutipan dana dari buruh-buruh kontrak warga Aceh di Malaysia sejak tahun 1985. Dia juga yang menjadi dalang terjadinya peristiwa Semenyih (Malaysia) pada tahun 1997 yang mengorbankan puluhan warga Aceh. Semenjak sakitnya Wali negara Hasan Tiro pada tahun 1997, maka praktis komando GAM berada di tangannya
    Gerak langkah GAM di bawah pimpinan Malik Mahmud (MM) sangat jauh berbeda dengan GAM yang kami pimpin pada permulaannya (saya dan Hasan Tiro maupun pejuang AM lainnya). Meskipun nama MM telah dicantumkan sebagai Menteri Negara di tahun 1976, tetapi yang membuat MM berpengaruh di dalam GAM dimulai di tahun 1987, di saat ia mendapat tugas untuk merekrut anak-anak muda dari Aceh dan dari Malaysia untuk dilatih di Libya dan dari Libya dipulangkan ke Aceh. Semua mereka ini sebelum pulang ke Aceh juga harus melalui MM. Semua pemuda latihan Libya hanya mengenal MM sebagai pemimpin AM, tidak tahu menahu seluk beluk ideologi AM apatah lagi sejarah Pra AM. Tidaklah heran kalau garis perjuangan TNA di bawah MM berbeda daripada dari tujuan semula. Secara garis besarnya GAM MM memisahkan diri dari rakyat. Mereka menunjukkan dirinya sebagai penguasa dan mendikte rakyat
    Siapa yang membangkang langsung ditindak. Hanya ada dua pilihan, yaitu: jalankan perintah atau bayar pajak yang ditetapkan atau anakmu yatim, kehilangan bapaknya. Bukan saja kepada rakyat, bahkan kepada rekan seperjuangan yang berlainan pendapat langsung digeser, difitnah dan tidak sedikit yang dihukum mati. Contoh rekan seperjuangan yang saya maksud: T. Don Zulfahri, Tgk. Haji Usman, Tgk. Abdul Wahab, Tgk. Abdullah Shafii dll. Guraa Rahman difitnah dan diperangkap hingga dimasukkan ke dalam penjara Malaysia. Tgk. Daud Husin difitnah dan dicopot dari jabatannya serta diperintah bunuh. Besar dugaan pembunuhan Djafar Siddik SH, Prof. Safwan Idris, dan Prof. Dr. Dayan Daud pun ada sangkut-pautnya dengan perebutan kuasa di kalangan masyarakat Aceh dan dalam usaha pembersihan lawan politik MM
    Latar belakang MM yang kurang jelas dan dasar pendidikan yang belum dapat dibuktikan menjadikan MM dinilai oleh para pejuang tua AM tidak layak menempati posisinya seperti sekarang. Meskipun kami, tidak begitu dekat macam dia dengan para anak muda GAM yang sekarang banyak direkrut olehnya sejak dulu. Oleh karenanya, kami berniat mengungkap fakta-fakta ini dalam forum yang entah kredibel, pantas atau tidak seraya berharap para pemuda Aceh tetap waspada atas semua bujuk rayu dan hasutan yang bermuatan kepentingan pribadi orang-orang yang “mengaku” sebagai pejuang Aceh
    Semoga Aceh tetap selalu berada di bawah lindungan Nya dari orang-orang jahat dan terkutuk. Insyaallah.
    Dr. Husaini Hasan
    Penulis adalah Menteri Pendidikan Aceh Merdeka angkatan tahun 1976

    sumber: http://www.acehshimbun.com

    meriam lada si cupak

    MERIAM sepanjang dua meter dengan balutan kain putih tampak gagah di bawah atap seng yang dipugar di Desa Blang Balok, Kecamatan Peureulak Kota, Aceh Timur. Meriam itu kini menyimpan sejuta kenangan bagi para laskar Aceh, yang berperang saat melawan kaum kolonial Portugis dan Belanda. Meriam yang sudah dikilatkan dengan minyak itu, salah satu bukti sejarah mengendus jejak bangsa Turki di bumi Peureulak, bekas kerajaan Islam yang pernah tersohor dahulu.

    Meriam itu diberi nama dengan sebutan “Meriam Lada Sicupak” yang dibeli dari negeri Turki oleh sepuluh laskar Kerajaan Aceh di bawah komando Panglima Nyak Dum. Penambalan nama Lada Sicupak lantaran meriam itu satu unitnya seharga sicupak lada yang diangkut dengan kapal dari Aceh.
    Dulu, banyak yang tidak tahu tentang keberadaan “Meriam Lada Sicupak” ini, meski tempatnya hanya sekitar 3 Km dari jalan raya di Desa Blang Balok, Peureulak Kota. Arah masuknya persis di bawah jembatan trans nasional Kampung Beusa tembus ke Kuala Beukah. Darmawan atau yang sering disapa Yahwan, pengurus meriam saat ditemui Serambi, Sabtu (23/1) menceritakan, meriam itu berdasarkan cerita sejarah, sudah ada di bumi Aceh sejak 1.568 M. Ada pula yang menyebutkan sudah ada pada abad ke-XVI.

    Konon kabarnya senjata canggih tersebut dibeli pada masa Sulthan Alighayatsyah Al-Kahar. Masa itu, sebanyak sepuluh orang laskar (tentara) diutus untuk membeli meriam di negara Turki, termasuk di dalamnya Panglima Nyak Dum. Menurut Yahwan, selama pengamatannya memang tidak ada merk khusus yang dibuat oleh asal perusahaan meriam Turki. Dulu laskar yang dipimpin oleh Panglima Nyak Dum dalam perjalanan ke Turki sempat terombang ambing di lautan hingga pernah terdampar ke India, bahkan lada yang dibawa untuk membeli meriam banyak yang terjatuh dan digunakan untuk membeli kebutuhan makanan. Di seluruh Aceh meriam itu ada 25 unit.

    “Tapi kita tidak tahu lagi ke mana yang lain, nama meriam dilabalkan “lada sicupak” karena saat dibeli untuk satu meriam harganya sicupak lada yang dibawa khusus dari Aceh,” jelasnya. Saat perang Portugis, sebut Yahwan, meriam itu masih aktif, sementara pada masa kolonial Belanda meriam tersebut tidak difungsikan dan jejaknya sempat tidak diketahui lagi. Yang ada hanya tinggal hikayah saja di tengah- tengah masyarakat. Namun secara mengejutkan, pada tahun 1976 tepatnya hari Selasa tanggal 15, meriam itu ditemukan kembali oleh almarhum Tgk Muhammad Ben, dalam tanah dengan keadaan tertanam.

    “Seminggu setelah menemukan itu, sang penemu Tgk Muhammad Ben mengalami gangguan jiwa, sehingga terpaksa dirantai. Ketika itu oleh Tgk Arifin Amin (peneliti sejarah di Peureulak) meminta meriam dibawa ke Desa Paya Meuligoe untuk dipeusijeuk, dan tahun 1989 dibawa ke PKA di Banda Aceh,” katanya.

    Setelah sempat dipamerkan di arena PKA, meriam itu dibawa kembali ke Desa Blang Balok, tempat asal ditemukan. “Tahun 1996 saya bawa meriam ke depan masjid dengan becak. Tahun 2000 konflik bersenjata dan rencana saya kalau sudah aman akan saya pugar kembali,” katanya. Niat untuk memugar tenyata kesampaian, genderang damai yang ditandai penandatanganan MoU antara RI dan GAM di Helsinki memberanikan Yahwan pada tahun 2006 menghadap Gubernur untuk meminta benda sejarah itu dipugar kembali. Melalui Dinas Kebudayaan akhirnya dibantu lokasi pemugaran berupa pagar dan lahan penempatan meriam asal Turki.

    “Tapi rumah Aceh yang sejatinya dibangun tidak dibangun, saya tidak tahu kenapa. Jika sudah dibangun rumah Aceh, meriam akan kami tempatkan di bawah rumah saja,” katanya. Meriam yang kini diletakkan di sisi kiri jalan desa Blang Balok itu merupakan alat perang yang dipicu dengan belerang dan mesiu. Dalam hikayah, meriam itu hanya dibawa oleh dua laskar, padahal bobotnya sangat berat.

    di tulis oleh: tgk iskandar usman al-farlaky

    kontroversi modifikasi alam peudeung



    "...Ada yang mengatakan bahwa bendera Kerajaan Aceh Darussalam berlambang bulan bintang. Namun sumber tertulis yang tertua dari Belanda menyatakan bahwa bendera Aceh berlambang dua rencong atau pedang. Kontroversi masih berlanjut..."

    INI dia Alam Peudeung kita,” kata Sejarawan Aceh sekaligus Direktur Pusat Dokumentasi dan Informasi Aceh, Rusdi Sufi. Ia menunjukkan sebuah ilustrasi bendera berwarna merah dengan lambang bulan bintang dan pedang on jok, pedang khas Aceh yang berbentuk daun aren yang terletak melintang di bawah lambang bulan bintang itu.

    Alam Peudeung
    Dalam bahasa Aceh, “alam” yang berasal dari bahasa Arab berarti bendera dan “peudeung” adalah pedang. Alam Peudeung merupakan bendera Kerajaan Aceh Darussalam berdasarkan catatan sejarah yang ditulis pihak Belanda. Namun belum ada catatan sejarah yang cukup jelas menggambarkan wujudnya.

    Sedangkan ini bendera juga, tapi untuk membangkitkan semangat perang,” katanya, sambil menunjukkan foto bendera yang lain.

    Memang banyak versi, tapi saya cenderung dengan ini,” katanya, seraya menunjukkan ilustrasi Alam Peudeung yang tampil dalam buku Tarikh Aceh dan Nusantara karya Zainuddin yang ditunjukkannya pertama kali tadi.

    Pada halaman pembukaan buku tersebut terdapat ilustrasi bendera Aceh di masa Kerajaan Aceh Darussalam. “Alam Atjeh”, begitu judul yang tertera di halaman itu. Kemudian terdapat syair berbahasa Aceh yang mengatakan, di Aceh ada Alam Peudeung, Cap Sikureung di tangan raja dan menceritakan kegemilangan sejarah Aceh.


    Kalau dulu orang aceh cenderung menerima Alam Peudeung yang ini (menunjuk versi Zainuddin). Ada pedangnya kan!, dengan bulan bintang, warnanya merah bukan kuning,” kata Rusdi dengan penuh keyakinan.

    Kalau yang ini (menunjukkan foto bendera merah yang satunya) banyak sekali ditemukan waktu perang dan modelnya juga banyak betul. Ada juga yang kuning dengan pedang ganda,” katanya.

    Dalam pertempuran antara pasukan Belanda dan Kerajaan Aceh di Barus tahun 1840, Belanda berhasil merebut bendera perang pasukan Aceh. Warna dasar bendera itu merah, ada gambar pedang melintang dan di sudut atas bagian gagangnya ada bulatan seperti bulan purnama berwarna putih. Bulatan dan pedang tersebut bertuliskan tulisan Arab dengan kandungan doa-doa mohon perlindungan kepada Allah. Itulah gambar bendera yang dimaksud Rusdi sebagai bendera “waktu perang”.

    Sejak dulu ini bendera kita (menunjuk versi Zainuddin), tapi bagaimana ditemukan kurang jelas,” tuturnya.

    Kalau ini untuk kepentingan perang,” Ia kembali menunjuk bendera yang direbut Belanda dari tentara kerajaan Aceh di Barus tadi.

    Sejak Aceh Darussalam terbentuk ini sudah ada. Bagaimana ditemukan, saya tidak jelas. Tapi ada sumber yang bilang inilah Alam Peudeung,” ujarnya, lagi-lagi menunjuk gambar bendera dengan lambang bulan bintang di buku Zainuddin.

    Ya… seperti merah putih kan ada yang bilang yang menemukannya Mpu Tantular. Tapi itu kan dongeng. Yang jelas kemudian itu jadi bendera negara kita kan.” Ia tertawa.

    Selain menjabat direktur PDIA, Rusdi juga berprofesi sebagai dosen Sejarah Aceh di Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP) Universitas Syiah Kuala.

    Lantas bagaimana dengan bendera hijau yang dikatakan dikibarkan saat damai?” tanya saya.

    “Itu cerita kemudian, tapi yang jelas bendera Aceh itu merah ya, bisa kita lihat dalam naskah-naskah. Kemudian ada orang yang membuat warna hijau disimbolkan sebagai sejuk damai. Itu macam-macam kejadiannya. Bisa karena karya pujangga lukisan,” jawabnya.

    Tapi tidak mungkin saboh nanggroe (satu negeri) dua bendera kan, hahahaha… Bendera itu kan, lambang, simbol kerajaan artinya identitas. Itu saya kira,” lanjutnya.

    Bendera kita (Alam Peudeung) mirip dengan bendera bulan bintang Turki ya?” tanya saya.

    Iya, kalau ini tidak ada.” Rusdi menutup gambar pedang on jok pada gambar bendera tersebut dengan tangannya. “Bendera Turki kan.” Senyumnya mengembang, setelah mengucapkannya.

    Ia mengatakan bahwa hubungan Aceh dan Turki sudah terbina sejak masa Sultan Ala’ad-din Riayat Syah al-Kahar. Ketika itu armada Turki dan tenaga ahli mereka dikirim ke Aceh sebagai wujud persahabatan.

    Tenaga ahli dari Turki itu kemudian menetap di Aceh. Konon katanya perkampungan mereka di Emperom,” katanya, sambil menggoyang-goyang kursinya.

    Empu itu kan artinya tukang atau ahli. Rom itu kan simbol atau istilah untuk menyebut Romawi Timur, tapi Rom di sini maksudnya Turki.

    Sultan Kerajaan Aceh Darussalam generasi ke-3 , Ala’ad-din Riayat Syah al-Kahar (1537) mengambil langkah resmi mengakui kekuasaan Sultan Turki atas Aceh, dengan imbalan berupa bantuan militer turki untuk melawan Portugis. Kenangan-kenangan dari hubungan singkat ini terus dihidupkan di Aceh oleh bendera merah Ottoman yang masih dikibarkan oleh para sultan, dan oleh meriam besar “lada secupak” yang menjaga dalam (istana raja dan perkarangan) di Banda Aceh.

    Bendera dan meriam ini dihormati sebagai pemberian khalifah, lambang perlindungan bagi kerajaan bawahannya yang terletak nun jauh di sana.

    ADA semacam kesepakatan dari kedua belah pihak bahwa Aceh itu adalah proktektorat Turki. Jadi setiap tahun ada hadiah dari Aceh ke Turki sebagai pengakuan persaudaraan,” kata Ketua Museum Aceh, Nurdin AR kepada saya di tempat yang berbeda.

    Semacam upeti?” tanya saya.

    Jangan dibilang upeti lah, katakanlah semacam hadiah. Demikian juga dengan Turki, negara itu juga kasih bantuan banyak sekali atas pemintaan al-Kahar. Ada bantuan armada, tenaga ahli, ada transfer ilmu teknologi perang juga,” katanya sambil membetulkan letak kacamatanya.

    Nurdin bertubuh berisi. Wajahnya mungil, berkacamata dan penuh senyum. Pagi itu Nurdin bersetelan kuning khas Pegawai Negeri Sipil (PNS). Di waktu senggangnya, ia sering terlihat memperhatikan ruang koleksi buku museum yang terdapat tepat di depan ruang kerjanya.

    Kemudian teknik bertempur. Di Aceh itu dikenal dengan seni bela diri geudeu-geudeu, yang masih dipertunjukkan di Pidie. Itu dulu latihan perang-perangan yang di bawa dari Turki. Sekarang katanya, saya tidak pernah ke Turki… katanya ada salah satu suku di situ ada seni bela diri seperti geudeu-geudeu di Sigli,” katanya, bangga.

    Nurdin juga mengatakan bahwa banyak armada Turki yang diberikan untuk Aceh sehingga armada tersebut masih dipakai di masa sultan Aceh yang sangat tersohor, yaitu Iskandar Muda.

    Jadi kemudian ada emosi barangkali, kedekatan emosi antara orang atau Kerajaan Aceh dengan Kerajaan Turki Usmani, juga karena keyakinannya,” katanya.

    Sultan Selim II dari Kemaharajaan Turki dinasti Ottoman mengirimkan 15 kapal perang dan dua kapal pembekalan untuk menyokong Aceh melawan Portugis. Pemberian bantuan dilakukan melalui firman (keputusan) Sultan Selim II, tertanggal 20 September 1567, sebagai jawaban atas permintaan Sultan Aceh, Alaudin Riayat Syah.

    Di Turki bintang bulan, kita juga bintang bulan. Selain itu bintang bulan juga sebagai lambang muslim. Kemudian sebagai ciri khas Aceh ditaruh pedang on jok,” kata Nurdin.

    Pendapatnya tentang Alam Peudeung sama seperti pendapat Rusdi.

    Kita lihat ini persis pedang Aceh. Ini ada tameng di tangan. Ini kunci pedang (ia menunjuk ukiran didepan gagang pedang), pedangnya juga tipis dan lentik seperti daun aren kemudian ada ini (ia menunjuk benda runcing yang menyerupai paku di belakang pegangan pedang), ini juga senjata pamungkas,” lanjutnya.

    Menurut Nurdin, ketika pemakai pedang terdesak dalam pertempuran, ujung pedang tersebut dapat menjadi senjata yang ampuh untuk melukai atau memberikan kejutan balik ke lawan.

    Pembicaraan kami akhirnya kembali ke bendera.

    Orang Aceh menyebut bendera: alam. Dari kata Arab. Ini kan yang disebut bendera Aceh.” Nurdin menunjuk kertas salinan ilustrasi bendera yang bergambar sebilah pedang terlentang dan bulan bintang di atasnya.

    Kalau itu kan tidak disebut (Alam Peudeung). Disebut bendera perang! Iya kan. Maka bendera perang itu selalu diiringi oleh pedang. Pedangnya berbeda, lalu di dalam ini ada tulisan-tulisan semacam ajimat penangkal, hikmah-hikmah yang dipakai dalam pertempuran untuk memecah pasukan lawan agar menang, supaya pasukannya berani,” tuturnya, panjang lebar.

    Nurdin membaca satu demi satu tulisan Arab yang tertera di balik bendera tersebut.

    Nah ini Ali…ini kan salah satu panglima perang ketika zaman Nabi. Lau….” Ia kembali meneruskan bacaannya, “Ya man huwa (wahai Dia)..Ya man la illaha illa huwa (Wahai Dia, tiada Tuhan melainkan Dia).

    Kenapa ada dua bendera dalam satu negara?” tanya saya, heran.

    Ini kan kalau dalam keadaan damai dipakai bendera putih. Semacam pertanda membawa misi damai. Tapi kalau mau bendera Aceh seperti bendera merah putih ya… ini (menunjuk bendera yang bergambar pedang serta bulan bintang),” jawabnya.

    Dulu ini (bendera perang yang direbut Belanda dari pasukan Kerajaan Aceh di Barus) ada di sini (Museum Aceh) tapi entah siapa yang pinjam. Pada saat zaman (kepemimpinan) Pak Zakaria dulu, bukan pada saat kepemimpinan saya. Entah kepala yang ketiga, pokoknya jauh sebelum saya.” Nurdin mencoba mengingat-ingat.

    Saat itu kondisinya memang sudah hancur, kemudian ada orang yang pinjam. Saya juga belum pernah lihat bendera itu, tapi kalau bendera warna putih kita masih punya,” tuturnya.

    Bendera tersebut secara fisik tidak ada lagi, tapi secara memori kolektif kita tidak hilang kan,” katanya, lagi.

    GAM (Gerakan Aceh Merdeka) memakai garis hitam, itulah dinamika, perkembangan, tapi identitas Aceh tidak pernah hilang, bintang bulannya,” tambahnya sembari, kembali tersenyum.

    GAM memakai lambang bulan bintang di atas dasar merah dengan tambahan beberapa garis pada tepi atas dan bawahnya.

    Nurdin mengatakan bahwa bila orientasi masyarakat berbeda maka lambang akan berbeda. Simbol itu penting buat orang Timur, katanya.

    Kehidupan bisa saja berubah, apakah di Aceh cukup ada Alam Peudeng dan sebagainya mungkin itu bisa berubah lagi tergantung harapan masyarakat. Karena harapan itu adalah doa kan.” Ia kembali terseyum.

    WACANA tentang bendera Aceh mulai berhembus ketika isi poin 1.1.5 Perjanjian Helsinki menyatakan bahwa Aceh memiliki hak untuk menggunakan simbol-simbol wilayah, seperti bendera, lambang dan hymne. Hal ini kembali ditegaskan dalam Undang-Undang Pemerintahan Aceh Nomor 11 tahun 2006. Khususnya pasal 246 ayat 2 dan 3 serta bunyi pasal 247. Lambang tersebut berkedudukan sebagai identitas daerah yang berfungsi sebagai pengikat kesatuan budaya masyarakat daerah dalam kesatuan Negara Kesatuan Republik Indonesia.

    Jika Rusdi Sufi dan Nurdin AR sependapat bahwa Alam Peudeung adalah bendera yang bergambar pedang on jok dan bulan bintang di atasnya, maka Ridwan Azwad, sekretaris Pusat Dokumentasi dan Informasi Aceh (PDIA) berpendapat beda.

    Saya sangsi (ragu) itu adalah Alam Peudeung,” tutur Ridwan, merujuk pada ilustrasi alam peudeung yang ada di buku Tarikh Aceh dan Nusantara karya Zainuddin.

    Saya lebih mengarah ke Brooshoff. Dia bilang ada keris bersilang. Tidak dibilang bintang beulen (bintang-bulan) kan. Kalau pun ada gambar yang beredar tapi kita sanksi juga dari mana mereka dapatkan… bisa saja ini imaginasi saja,” tuturnya.

    Brooshoff adalah penulis buku Geschiedenis van den Atjeh Oorlog 1873-1886 (Sejarah Perang Aceh 1873-1886). Buku yang diterbitkan tahun 1936 tersebut berbahasa Belanda dan belum diterjemahkan ke bahasa Indonesia.

    Dalam buku tersebut ditulis: De Atjehsche vlag is den witte kris op een rood veld. Soms ziet men ook in plaats van de kris, twee witte gekruiste klewang (Bendera orang Aceh adalah bergambar keris putih pada dasar berwarna merah, terkadang juga orang melihat keris tadi, menjadi dua pedang (klewang) putih yang bersilang)

    Apa pengertian keris di situ rencong? Bisa jadi saat itu dia tidak tahu nama senjata kita itu. Soalnya mirip keris kan,” tutur Ridwan.

    Rencong adalah senjata tradisional Aceh yang diciptakan di masa Sultan al-Kahar. Bentuknya menyerupai huruf L, dan bila dilihat lebih dekat bentuknya menyerupai kaligrafi tulisan Bismillah.

    Ridwan juga menceritakan bahwa dalam buku Kreemer jilid II dikatakan bendera Aceh bernama Alam Cap Peudeung yang juga dinamakan Alam Radja. Di situ juga disebutkan ada “alam” merah saat perang, juga “alam” putih saat damai yang disebut alam ta’ lo.

    Sejak kecil Ridwan terbiasa dengan buku-buku sejarah. Maklum, kakek dan ayahnya juga berkerja di bidang yang sama. Ayahnya, Aboe Bakar, bahkan pernah menjabat direktur harian PDIA. Ketika itu ayah Ridwan banyak menerjemahkan buku-buku berbahasa Belanda ke bahasa Indonesia guna memperkaya referensi sejarah Aceh.

    Tapi saya lebih cenderung (pada) laporan di buku Broshoof. Memang orang Aceh ada istilah panji. Tapi saya selain yang Broshoof bilang itu, yang lain masih kabur,” katanya, tegas.

    Ridwan juga mempertanyakan sumber keterangan soal Alam Peudeung yang terdapat di buku Zainuddin.

    Jangan mentang-mentang ada lukisan itu kita langsung mengatakan itu Alam Peudeung. Kapan dia lukis itu, bagaimana sumbernya? apakah imajinasi? Tidak jelas,” ujarnya, dengan mimik serius.

    Dalam Tarikh Aceh dan Nusantara terdapat gambar penyambutan Sultan Alaudin Riayat Syah al-Mukamil terhadap utusan dari Ratu Inggris Elizabeth I di bawah pimpinan Sir James Lancaster. Tampak beberapa orang penari berpakaian seperti penari Hindu dalam gambar tersebut. Namun, tidak dijelaskan bahwa gambar itu ilusrasi pelukis Belanda bernama C. Jetses yang mengkhayalkan penyambutan Lancaster dalam bentuk lukisan!

    Itu hal kecil tapi bisa jadi ribet nantinya. Bagaimana kalau itu dikutip lagi sama buku lainnya,” kata Ridwan, gusar.

    Kalau di buku Van Langen, Weskuest van Aceh (Aceh bagian Pantai Barat) ada pernah saya lihat gambar bendera yang pernah direbut di pantai barat. Tidak ada bulan bintangnya,” kenangnya.

    Kalau saya pribadi masih kabur, pajan bendera nya na (kapan bendera itu ada). Timbul pertanyaaan apa pada Ali Mughayat Syah sudah ada bendera. Dulu kan kerajaan Ali Mughayat Syah kecil, kemudian jadi besar,” tuturnya.

    Ali Mughayat Syah adalah pendiri Kerajaan Aceh Darussalam. Pada awalnya sebuah kerajaan yang terletak di ujung pulau itu bukan kerajaan penting namun setelah mempersatukan semua kekuatan anti-Portugis yang bermarkas (telah menguasai) di Pidie (1521) dan Pasai (1524), kerajaan tersebut besar dan memainkan peranan penting dalam monopoli eksport hasil produksi Sumatra dan Malaka.

    Yang jelas Alam Peudeung itu pada zaman yang sultan sudah kuat, tapi kita belum tahu yang mana,” sambungnya.

    Tapi Pak, dalam ingatan kolektif orang tua itu kan masih tinggal kenangan bendera Peudeung?” bantah saya, terkenang ucapan Nurdin tentang ingatan orang-orang tua.

    Orang tua itu berapa umurnya?” Ia terseyum penuh arti. “Orang zaman itu kan sudah mati, belum tentu mereka mewariskan ceritanya kepada anak-anak mereka,” lanjut Ridwan.

    Dalam sejarah, kesaksian itu ada dua, primer atau penyaksi langsung dan sekunder atau dari orang kedua. Contohnya seperti kita bilang kata neneknya, kan itu bukan dia yang lihat. Tidak setiap keterangan kita harus percaya kalau kita kembali ke metodologi sejarah. Jadi jangan setiap yang datang kita telan semua,” katanya.

    Alam Peudeung itu sendiri dari sumber Belanda, tapi tentu saja dia melakukan dengan riset yang kuat. Kalau saya tidak bisa terima ilustrasi tersebut, apa betul begitu? Kalau kita lihat laporan Belanda itu kan bersilang. Lagian tidak pernah disinggung kan bendera kita bintang buleun, “ jawabnya dengan nada sedikit tinggi. Setelah itu ia menghela napas.

    Jangan terima begitu saja sumber yang tidak jelas, kita mesti kritis,” tuturnya. Ridwan ingin ada penelitian lebih lanjut tentang bendera Aceh.

    benteng indra patra

    Benteng Indra Patra dibangun oleh Kerajaan Lamuri, kerajaan Hindu pertama di Aceh (Indra Patra) pada masa sebelum kedatangan Islam di Aceh, yaitu pada abad ke tujuh masehi. Benteng ini dibangun dalam posisi yang cukup strategis karena berhadapan langsung dengan Selat Malaka, sehingga berfungsi sebagai benteng pertahanan dari serangan armada Portugis. Pada masa Sultan Iskandar Muda, dengan armada lautnya yang kuat dibawah pimpinan Laksamana Malahayati, sebagai laksamana wanita pertama di dunia, benteng ini digunakan sebagai pertahanan kerajaan Aceh Darussalam.Sebagai situs sejarah yang penting – dalam menyambut Visit Indonesia 2008, pemerintah Aceh melalui Kantor Wilayah Departemen Pendidikan Nasional Aceh terus berupaya merenovasi benteng tersebut.

    Sepanjang jalan timur Banda Aceh menuju pelabuhan Malahayati dapat mengunjungi tiga situs bersejarah yang bersaksi tentang perjuangan heroik rakyat Aceh melawan penjajah asing. Yang pertama dari situs ini adalah benteng Indra Patrasebenarnya merupakan bagian dari sistem pertahanan yang terdiri dari tiga benteng di arah kompas yang berbeda dari kotaHal ini dibangun dari batu kapur dan memainkan peran penting dalampertahanan melawan Portugis.

    Benteng ini terdiri dari dua bagianSalah satu bagian pastiperumahan barak tentara. Dalam halaman berdinding dari 70 x70 m2 ada dua sumur tertutup masih mengandung air jernih.Bagian lainlebih dekat ke laut dan berukuran 35 x 35 m2jelasmemegang meriam untuk menyerang kapal musuhIni memilikiembrasures di dinding arah laut dan sebuah gudang berdinding tebal dan tebal beratap yang kami pikir adalah toko amunisi.

    Kami pikir benteng ini dibangun melawan penjajah Portugis dankarena itu beberapa 400 tahunDan melihat kondisinya kita menduga bahwa pada beberapa pekerjaan restorasi waktu harus telah dilakukan di atasnya. kemudian kami menemukan sebuah website dalam bahasa Indonesia yang menyatakan bahwa benteng itu dibangun pada abad ke-7 Masehi oleh kerajaan Lamuri pra-Islam. Website yang sama memang menyebutkan upaya renovasi terakhir oleh pemerintah Aceh, dan laporan bahwa gerbang dihancurkan oleh tsunami.

    Lokasi
    Benteng ini terletak di dekat pantai Ujong Batee, Desa Ladong, Kecamatan Masjid Raya, Kabupaten Aceh Besar.

    Akses Menuju Lokasi
    Tidak ada angkutan khusus yang menuju ke lokasi benteng. Dari Kota Banda Aceh berjarak sekitar 19 km. Apabila ditempuh dengan kendaraan pribadi kurang lebih 35 menit. Apabila naik angkutan umum, yaitu labi-labi jurusan Banda Aceh-Krueng Raya dapat ditempuh dalam waktu 40 menit.

    sejarah lonceng cakra donya

    Lonceng Cakra Donya merupakan benda bersejarah yang kini merupakan salah satu koleksi Museum Aceh. Menurut sejarahnya lonceng ini diberikan oleh kerajaan China melalui Laksamana Cheng Ho yang merupakan pelayar tangguh, sebagai ikatan persahabatan antara kerajaan China dengan Kerajaan Aceh.
    Cakra Donya adalah lonceng yang berupa mahkota besi berbentuk stupa buatan Cina 1409 M, dengan tinggi 125 cm dan lebar 75 cm. Cakra berarti poros kereta, lambang-lambang Wishnu, cakrawala atau matahari. Sedangkan Donya berarti dunia. Pada bagian luar Cakra Donya terdapat hiasan dan simbol-simbol berbentuk aksara Cina dan Arab. Aksara Cina bertuliskan Sing Fang Niat Tong Juut Kat Yat Tjo (Sultan Sing Fa yang telah dituang dalam bulan 12 dari tahun ke 5). Sedangkan aksara Arab tidak dapat dibaca lagi.
    Sejarah Pada dasarnya Cakra Donya adalah nama sebuah kapal perang Sultan Iskandar Muda (1607-1636), yaitu Kapal Cakra Donya di mana lonceng ini digantungkan, dalam penyerbuannya terhadap Portugis di Malaka. Pada masa lalu Lonceng dari Kapal Cakra Donya tersebut, digantung dengan rantai jangkar pada pohon kuda-kuda dekat Mesjid Baiturrahnim dalam kompleks kraton untuk dibunyikan apabila penghuni kraton harus berkumpul guna mendengarkan pengumuman Sultan. Akan tetapi, sejak tahun 1915 M Cakra Donya dipindahkan ke Museum Aceh dan ditempatkan dalam kubah tersebut. Rantai Cakra Donya panjangnya 9,63 cm adalah rantai besi yang dahulu pernah dipakai untuk menggantung Lonceng Cakra Donya pada pohon kuda-kuda di depan Mesjid Baiturrahim dalam kompleks Istana Kesultanan Aceh Darussalam sampai tahun 1915.
    Catatan sejarah tertua dan pertama-tama mengenai kerajaan-kerajaan di Aceh, didapati dari sumber-sumber tulisan sejarah Tiongkok. Dalam catatan sejarah dinasti Liang (506-556), disebutkan adanya suatu kerajaan yang terletak di Sumatra bagian utara pada abad ke-6 yang dinamakan Po-Li dan beragama Budha(sebelum masuknya agama Islam).Pada abad ke 13 teks-teks Tiongkok (Zhao Ru-gua dalam bukunya Zhu-fan zhi) menyebutkan Lan-wu-li (Lamuri) di pantai timur Aceh. Dan pada tahun 1282, diketahui bahwa raja Samudra-Pasai mengirim dua orang (Sulaiman dan Shamsuddin) utusan ke Tiongkok. Di dalam catatan Ma Huan (Ying-yai sheng-lan) dalam pelayarannya bersama dengan Laksamana Cheng Ho, dicatat dengan lengkap mengenai kota-kota di Aceh seperti, A-lu (Aru), Su-men-da-la (Samudra), Lan-wu-li (Lamuri).
    Dalam catatan Dong-xi-yang- kao (penelitian laut-laut timur dan barat) yang dikarang oleh Zhang Xie pada tahun 1618, terdapat sebuah catatan terperinci mengenai negara Aceh modern. Samudra-Pasai adalah sebuah kerajaan dan kota pelabuhan yang ramai dikunjungi oleh para pedagang dari Timur Tengah, India sampai Tiongkok pada abad ke 13 -16. Samudra Pasai ini terletak pada jalur sutera laut yang menghubungi Tiongkok dengan negara-negara Timur Tengah, di mana para pedagang dari berbagai negara mampir dahulu /transit sebelum melanjutkan pelayaran ke/dari Tiongkok atau Timur Tengah, India.
    Kota Pasai dan Perlak juga pernah disinggahi oleh Marco Polo (abad 13) dan Ibnu Batutah/Batistuta (abad 14) dalam perjalanannya ke/ dari Tiongkok. Barang dagangan utama yang paling terkenal dari Pasai ini adalah lada dan banyak diekspor ke Tiongkok, sebaliknya banyak barang-barang Tiongkok seperti Sutera, Keramik, dll. diimpor ke Pasai ini. Pada abad ke 15, armada Cheng Ho juga mampir dalam pelayarannya ke Pasai dan memberikan Lonceng besar yang tertanggal 1409 (Cakra Donya) kepada raja Pasai pada waktu itu. Samudra Pasai juga dikenal sebagai salah satu pusat kerajaan Islam (dan Perlak) yang pertama di Indonesia dan pusat penyebaraan Islam keseluruh Nusantara pada waktu itu. Ajaran-ajaran Islam ini disebarkan oleh para pedagang dari Arab (Timur Tengah) atau Gujarat (India), yang singgah atau menetap di Pasai. Di kota Samudra Pasai ini banyak tinggal komunitas Tionghoa, seperti adanya "kampung Cina", seperti ditulis dalam Hikayat Raja-raja Pasai.
    Jadi jauh sebelum kerajaan Aceh Darussalam berdiri, komunitas Tionghoa telah berada di Aceh sejak abad ke-13. Karena Samudra Pasai ini terletak dalam jalur perdagangan dan pelayaran internasional serta menjadi pusat perniagaan internasional, maka berbagai bangsa asing lainnya menetap dan tinggal disana yang berkarakter kosmopolitan dan multietnis. Tome Pires menyebutkan bahwa kota Pasai adalah kota penting yang berpenduduk 20.000 orang. Pada tahun 1524 Samudra Pasai ditaklukan oleh Sultan Ali Mughayat Syah dari kerajaan Aceh Darussalam dan sejak itu Samudra Pasai merosot dan pudar pamornya untuk selamanya. Puncak kejayaan Kerajaan Aceh Darussalam adalah ketika pada jaman Sultan Iskandar Muda (1607-36), Aceh pada waktu jaman Iskandar Muda ini adalah negara yang paling kuat di seluruh Nusantara, bahkan di Asia Tenggara.
    Kekuasaan Aceh pada saat itu meliputi Barus, Tiku, Pariaman(Minangkabau), Riau, Siak, sebagian Bangkahulu dan sebagia Semenanjung Malaya(Johor, Pahang, Perak). Aceh meluaskan kekuasaannya dan memerangi Portugis, Kesultanan Johor, Pahang dll. Aceh juga merupakan sebuah negara maritim dan sebagai salah satu pusat perdagangan internasional. Banyak pedagang asing singgah dan menetap di Aceh, seperti dari Arab, Persia, Pegu, Gujarat, Jawa, Turki, Bengali, Tionghoa, Siam, Eropah dll. Pada saat itu Aceh menjalin kerjasama militer dengan negara Turkey Ottoman. Di kota kerajaan ini (Banda Aceh sekarang), banyak dijumpai perkampungan perkampungan dari berbagai bangsa, seperti kampong Cina, Portugis, Gujarat, Arab, Pegu, Benggali dan Eropah lainnya. Kota Banda Aceh ini benar-benar sebuah kota kosmopolitan yang berkarakter internasional dan multietnis. Seperti di Samudra Pasai, Aceh juga banyak menghasilkan Lada yang diekspor ke Tiongkok.
    Pada waktu itu orang Aceh telah menguasai pembuatan atau pengecoran pembuatan Meriam dan tidak semua meriam di Aceh adalah buatan luar negeri (seperti meriam buatan Turki atau Portugis). Orang Aceh mendapatkan ilmu pembuatan meriam ini dari orang Tionghoa (Kerajaan Aceh, Denys Lombard). Demikian juga dengan pertenakan sutera yang sudah dikuasai oleh orang Aceh yang kemungkinan besar diperkenalkan oleh orang-orang Tionghoa. Pengganti Sultan Iskandar Muda adalah mantunya sendiri yang bernama Sultan Iskandar Tsani (1636-41).
    Periode pemerintahan Iskandar Tsani ini adalah awal dari kemerosotan Kerajaan Aceh Darussalam, periode pemerintahannya juga sangat singkat. Iskandar Thani tidak melakukan politik ekspansi wilayah lagi seperti mertuanya dan lebih memusatkan kepada pengetahuan dan ajaran Islam.
    Pada jaman Iskandar Tsani ini, di ibukota kerajaan telah dibangun sebuah taman yang dinamakan "Taman Ghairah", seperti yang dikisahkan dalam buku Bustan us-Salatin karangan Nuruddin ar-Raniri(orang Ranir, Gujarat, penasihat Sultan, ahli tasawuf). Diceritakan bahwa didalam taman itu telah dibangun sebuah "Balai Cina" (paviliun) yang dibuat oleh para pekerja orang Tionghoa.
    Peranan orang Tionghoa di bidang perdagangan di Aceh diperkirakan bertambah besar pada paruh kedua abad ke-17. Selain ada yang tinggal dan berdagang secara permanen di ibukota Aceh ini, ada juga pedagang musiman yang datang dengan kapal layar (10-12 kapal sekali datang) pada bulan-bulan tertentu seperti pada bulan Juli. Kapal-kapal (Jung) Tionghoa tersebut juga membawa beras ke Aceh (impor beras dari Tiongkok). Mereka tinggal dalam perkampungan Cina dekat pelabuhan, yang sekarang mungkin lokasinya disekitar "Peunayong" (Pecinan Banda Aceh).
    Bersama dengan kapal itu juga datang para pengrajin bangsa Tionghoa seperti tukang kayu, mebel, cat dll. Begitu tiba mereka mulai membuat koper, peti uang, lemari dan segala macam lainnya. Setelah selesai mereka pamerkan dan jual di depan pintu rumah. Maka selama dua atau dua bulan setengah berlangsunglah "pasar (basar) Cina" yang meriah. Toko-toko penuh sesak dengan barang dan seperti biasanya orang-orang Tionghoa ini tidak lupa juga untuk bermain judi seperti kebiasaannya. Pada akhir September, mereka berlayar kembali ke Tiongkok dan baru kembali lagi tahun depannya. Barang-barang dari Tiongkok ini ada beberapa diantaranya diekspor ke India.(Kerajaan Aceh, Denys Lombard).

    Cakra Donya

    Lonceng atau genta yang terkenal dan termasyhur (icon kota Banda Aceh) di Aceh ini sekarang diletakkan di Musium Aceh, Banda Aceh. Lonceng yang dibawa oleh Cheng Ho ini adalah pemberian Kaisar Tiongkok, pada abad ke-15 kepada Raja Pasai. Ketika Pasai ditaklukkan oleh Aceh Darussalam pada tahun 1524, lonceng ini dibawa ke Kerajaan Aceh. Pada awalnya lonceng ini ditaruh diatas kapal Sultan Iskandar Muda yang bernama "Cakra Donya"
    (Cakra Dunia) waktu melawan Portugis, maka itu lonceng ini dinamakan Cakra Donya. Kapal Cakra Donya ini bagaikan kapal induk armada Aceh pada waktu itu dan berukuran sangat besar, sehingga Portugis menamakannya "Espanto del Mundo" (Teror Dunia). Kemudian Loncengyang bertuliskan aksara Tionghoa dan Arab (sudah tak dapat dibaca lagi aksaranya sekarang) ini diletakkan dekat mesjid Raya Baiturrahman yang berada dikompleks Istana Sultan. Namun sejak tahun 1915 lonceng ini dipindahkan ke Musium Aceh dan ditempatkan didalam kubah hingga sekarang (halaman Musium). Lonceng Cakra Donya ini telah menjadi benda sejarah kebanggaan orang Aceh hingga sekarang. Lonceng ini juga juga merupakan bukti dan simbol hubungan bersejarah antara Tiongkok dan Aceh sejak abad ke-15.
    Lonceng raksasa Cakra Donya merupakan salah satu peninggalan bersejarah yang bermutu tinggi yang disimpan di Museum Aceh. Lonceng raksasa Cakra Donya merupakan sebuah bingkisan Maharaja Cina yang diantar oleh Laksamana Cheng Ho pada tahun 1414. Di atas Lonceng tersebut tertera aksara Cina "Sing Fang Niat Toeng Juut Kat Yat Tjo".

    SEJARAH ALAM PEUDEUNG


    di aceh na alam peudeung,
    Cap sikureung bak jaroe raja,
    Phon di Aceh troh u Pahang,
    Tan soe teuntang Iskandar Muda,
    Bangsa Portugis angkatan meugah,
    Laju geupinah di Aceh raya
    U Melaka keudeh di piyoh,
    Keunan pih troh geupicrok teuma.




    SAMPAI hari ini, nadham Aceh di atas, masih dinyanyikan masyarakat Aceh, untuk mengambarkan betapa sulitnya penjajah menduduki tanah rencong ini. Namun, awal dari kalimat di atas adalah simbol pemersatu rakyat Aceh yaitu “alam peudeung” yang dimaknai sebagai Bendera Aceh. Sejauh pengetahuan saya, hampir seluruh kerajaan di Indonesia memiliki bandera kebesaran mereka.

    Tidak terkecuali bandera Kerajaan Mataram yang sampai hari ini masih dikibarkan di Yogyakarta dan sering dijadikan sebagai simbol kerajaan saat kirab para pembesar kerajaan tersebut. Perihal bandera dalam sejarah Nusantara memang tidak pernah dipermasalahkan, kecuali simbol-simbol tersebut berupaya menghalangi jatidiri bangsa Indonesia yaitu simbol komunis.


    Alasan utama saya menampilkan nadham di atas berikut dengan tafsir mengenai bandera di Nusantara karena adanya opini M Nur Juli, di Serambi Indonesia (18/04/2011) dan berita di harian ini pada 17 April 2011, bendera GAM Dikibarkan di Persawahan Pulo Pisang, sehingga ini sedikit menyentil suasana damai yang telah dibangun selama 5 tahun terakhir. Namun, dalam dataran akademik, persoalan bendera Aceh bukanlah hal yang baru. Artikel singkat ini berupaya untuk menelaah lebih lanjut tentang bendera Aceh ini yang dalam sejarah lebih dikenal dengan “alam Aceh.”



    M Nur Juli menyebutkan, yang menimbulkan masalah sekarang tampaknya adalah anggapan bahwa bendera bergaris merah, hitam dan putih dihiasi bulan bintang itu sebagai “Bendera GAM”. Ini anggapan keliru. GAM tidak punya bendera sendiri; yang digunakan GAM di masa konflik adalah bendera Aceh, yang telah wujud ratusan tahun.



    Bendera itu hampir sama dengan bendera Turki. Dalam hal ini, salah satu kajian yang paling komprehensif adalah karya Anthony Reid (2005) mengenai pengaruh Turki Utsmani, termasuk penggunaan bandera mereka di bumi Serambi Mekkah. GAM lahir pada tanggal 4 Desember 1976, sedangkan sejarah penggunaan bandera tersebut telah dimulai ratusan tahun yang lalu. Dengan kata lain, bandera Aceh adalah warisan sejarah dan identitas wangsa Aceh, serta tidak ada kait mengait dengan GAM.



    Marsden pernah mengatakan dalam “The History of Sumatra”, bahwa Aceh adalah satu satunya kerajaan Islam di Nusantara yang pernah meraih kemajuan politik dalam pandangan orang barat. Karena berbagai “transaksi yang ia lakukan telah menjadi pembahasan sejarah. Dengan kekuatan ini, Portugis tidak mampu menancapkan kaki di Aceh dan para sultannya menerima banyak tamu dari pengusasa Eropa” (Amirul Hadi: 2010). Caroline Finkel dalam bukunya “The Story of the Ottoman Empire 1300-1923” mengatakan, “Muslim sultanate of Aceh, when threatened by Portuguese expansionism, sought Ottoman assistance. The Ottoman troops were sent to aid the sultan against the Portuguese in 1537, 1547, 1566 Aceh formally requested the protection of the Ottomans. The Ottomans fleet set out from Suez to aid Aceh, and the Ottomans flag used by the sultanate of Aceh.” (Caroline Finkel: 2005). Inilah hubungan persaudaraan antara Turki dan Aceh yang sampai hari ini masih diinginkan berlanjut, khususnya dalam hubungan pendidikan dan kebudayaan.



    Maka tidak heran, bendera resmi kerajaan Aceh adalah dasar merah dengan bulan bintang di tengah sebagai simbol Islam sama seperti Turki dan ini juga menunjukkan bahwa kerajaan Aceh berlandaskan Alquran dan Alhadist. Sedangkan pedang merupakan lambang kedaulatan Aceh dan juga menunjukkan sifat orang Aceh yang tegas dan ditakuti oleh lawan-lawannya. Ada istilah di Aceh hudep saree matee shahid, salah narit peudeung peuteupat, salah seunambat teupeuroe dumna. Penambahan pedang ini sebagai sifat orang Aceh diletakkan di bawah bintang bulan. Jadi kesamaan bendera Turki dengan “alam peudeung” Aceh diakibatkan hubungan Aceh dan Turki begitu harmonis tempo dulu. Hasan Tiro, mengambil bendera ini sebagai bendera Aceh Merdeka dan menambahkan dua garis hitam di tepinya untuk melambangkan para syuhada. Para syuhada ini adalah yang korban dalam peperangan kemerdekaan Aceh melawan Belanda dan Jepang.



    Adapun mengenai penggunaan bandera Aceh, Ahtisari sendiri dalam buku “Ahtisari and Aceh” (Katri Merikallio: 2006) mengakui Aceh punya hak untuk menggunakan bendera simbol dan himne sendiri. Dan ini telah dituangkan dalam MoU Helsinki pada tanggal 15 Agustus 2005.



    Dalam Undang Undang Pemerintahan Aceh (UUPA) No 11 tahun 2006 mengenai bendera dinyatakan di dalam pasal 246; (1) Bendera Merah Putih adalah bendera nasional dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. (2) Selain Bendera Merah Putih sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pemerintah Aceh dapat menentukan dan menetapkan bendera daerah Aceh sebagai lambang yang mencerminkan keistimewaan dan kekhususan. (3) Bendera daerah Aceh sebagai lambang sebagaimana dimaksud pada ayat (2) bukan merupakan simbol kedaulatan dan tidak diberlakukan sebagai bendera kedaulatan di Aceh. (4) Ketentuan lebih lanjut mengenai bentuk bendera sebagai lambang sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dalam Qanun Aceh yang berpedoman pada peraturan perundang-undangan.



    Ketentuan ini merupakan salah satu bentuk kompromi antara pemerintah Indonesia dan GAM yang melihat pentingnya pengaturan simbol dan identitas baik bagi RI maupun bagi Aceh. Bendera Aceh akan menegaskan identitas kekhususan Aceh yang memang sepatutnya diarahkan menjadi gerakan nasionalisme kultural yang damai dan demokratis dalam rangka pencarian sebuah dukungan menjadi a nation without state. Dengan kibaran dua bendera di Aceh, diharapkan ke depan konflik bendera tidak akan muncul lagi di negeri yang pernah menjadi pengemban amanah daulah islamiayah di Asia tenggara ini bersama Turki Usmani di Eropa dan Asia Tengah, bani fathimiyah di Afrika Utara, Isfahan di Timur Tengah dan Moghul di Asia Selatan.



    Pemerintah Aceh dan DPRA perlu segera mengeluarkan aturan tentang simbol dan bendera Aceh sekaligus tentang protokoler pengibarannya sebagaimanhttp://www.blogger.com/img/blank.gifa amanat MoU Helsinki dan pasal 246 ayat 2 Undang-Undang Pemerintahan Aceh No 11 tahun 2006. Hal ini akan memberi dua dampak terhadap hubungan Aceh dengan Indonesia. Pertama, Aceh menghormati simbol Indonesia di Aceh yang direpresentasikan oleh bendera merah putih dan hanya akan menggunakan bendera tersebut sesuai dengan ketentuan hukum RI yang mengaturnya. Kedua, Aceh memiliki kewenangan untuk mengibarkan bendera sendiri sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku di Aceh. Karena salah satu faktor yang mendasari konflik bendera ini adalah aspek hukum, otoritas, dan etika.



    Terakhir, saya mengajak agar semua elemen di Aceh bisa menghormati simbol-simbol ke-Aceh-an dan ke-Indonesia-an. Karena dengan saling menghormati, maka situasi damai bisa dipertahankan.



    Penulis : M Adli Abdullah-Dosen Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh.
    Sumber : http://adliabdullah.com 
     


     
    Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
    Copyright © 2011. irakbuzz - All Rights Reserved
    Template Created by Creating Website Published by Mas Template
    Proudly powered by Blogger