pernikahan adalah sebuah ikatan keluarga baru yang terbina antara 2 pasangan baik dari pihak laki laki dan permpuan didalam sebuah perjanjian dalam sebuah akad. dalam menjalin sebuah ikatan,, banyak sekali fenomena fenomena hampa terkait keretakan dalam sebuah pernikahan, yang dengan kata lain adalh bercerai. fenomena ini bukan lagi hal yang ganjil dalam keseharian kita, dan ini sudah menjadi sebuah kebiasaan dalam kehidupan berumah tangga.
dalam media media banyak kita lihat para figuran figuran publik banyak sekali yang bercerai, alasannya bermacam macam, ada yang gara gara orang ke tiga, ada yang karena sang suami tak sanggup memberikan nafkah batin, ataus si istri yang mandul dan tak bisa memberikannya keturunan, dan mungkin ada yang lebih parah lagi karena contoh figurannya bercerai, maka dia pun mencontohkahnya dalam kehidupannya, entah ini akibat narsisme yang di anutnya, ataupun karena ada penyebab lain dan mengkambing hitamkan sang figuran, wallahu 'alam.
tadi pagi saya duduk di warung kopi sambilan membaca koran, dan saya terkejut dengan apa yang saya baca, lebih dari 200 ribu pasutri bercerai setiap tahun di indonesia. saya tak habis pikir dengan penyebab perceraian yang melunjak setiap tahun. apa mungkin karena kurang solidaritas antara pasutri, sehingga mereka lebih memilih jalan pintas ini, timbul berbagai pertanyaan saya terhadap logika ini, bagaimana anak anak mereka? apakah mereka tidak takut psikologi anak mereka akan menjadi sebuah phobia dalam kehidupan mereka?.
menurut nasaruddin umar, direktur jendral bimbingan masyarakat islam (BIMAS islam) terkait masalah ini menyebutkan ;
Bila dibandingkan dengan angka perkawinan yang mencapai dua juta pasangan setiap tahun, angka kasus perceraian di Indonesia terbilang paling tinggi di kawasan Asia Pasifik. Hal yang lebih mengejutkan, acapkali alasan pasutri untuk mengakhiri ikatan perkawinan mereka, tak sekadar masalah-masalah yang bersifat prinsip seperti tidak bisa memberikan keturunan atau perbedaan agama. Masalah perbedaan pilihan politik, juga menjadi fenomena baru dalam hal alasan pasutri bercerai. Gejala ini terlihat pasca era otonomi daerah yang ditandai dengan pemilihan kepala daerah langsung.Data yang ada di Depag selama tahun 2005 mengungkap bahwa terdapat 127 kasus perceraian gara-gara perbedaan bendera politik. Dikatakan, fenomena ini menjadi pekerjaan rumah yang sangat besar bagi setiap orang dan lembaga yang terkait dengan perkawinan. "Karena sejatinya masalah perkawinan itu bukan masalah antar kedua pasutri, tetapi juga berkaitan dengan sosial budaya semua masyarakat, kata Nasaruddin.
Atas kondisi ini, kiranya perlu dilakukan upaya-upaya sangat serius dan sistematis guna memperkuat ikatan perkawinan seseorang selain mengeliminasi faktor-faktor yang menjadi penyebab bubarnya perkawinan. Lembaga-lembaga penasihatan perkawinan juga harus mampu membentuk masyarakat yang siap dan kuat dalam membangun keluarga.
Seseorang yang dikatakan siap dan kuat berkeluarga itu, tidak bisa dinilai dari kecukupan materi, memiliki perasaan saling menyayangi, atau sekedar pemenuhan biologis semata. "Tapi lebih dari itu, dasar keimanan dan pengetahuan seseorang tentang konsep berkeluarga, jauh lebih penting sebelum memutuskan untuk menikah," ujar Nasaruddin.
Dalam kesiapan menikah dan berkeluarga, tak ada salahnya Indonesia meniru orang-orang barat yang telah membentuk budaya mempersiapkan dengan matang segala pengetahuan sebelum memutuskan untuk menikah.
Di beberapa negara Eropa, masyarakatnya terbiasa membaca buku tentang perkawinan, persiapan melahirkan dan pendidikan anak sebelum menikah. "Buku wajib yang dibaca ini setara dengan kuliah satu semester, fundamen inilah yang membuat mereka cenderung lebih kuat mempertahankan perkawinan," kata Nasruddin.
Pada intinya, sudah seharusnya masyarakat atau pasangan muda-mudi dianjurkan untuk mempelajari dunia perkawinan dan masalah-masalah yang berkaitan soal itu terlebih dahulu, sebelum melangkah kearah pernikahan yang hakiki. Ini dimaksudkan untuk memberi pengetahuan yang dalam mengenai pernikahan.
Seseorang yang dikatakan siap dan kuat berkeluarga itu, tidak bisa dinilai dari kecukupan materi, memiliki perasaan saling menyayangi, atau sekedar pemenuhan biologis semata. "Tapi lebih dari itu, dasar keimanan dan pengetahuan seseorang tentang konsep berkeluarga, jauh lebih penting sebelum memutuskan untuk menikah," ujar Nasaruddin.
Dalam kesiapan menikah dan berkeluarga, tak ada salahnya Indonesia meniru orang-orang barat yang telah membentuk budaya mempersiapkan dengan matang segala pengetahuan sebelum memutuskan untuk menikah.
Di beberapa negara Eropa, masyarakatnya terbiasa membaca buku tentang perkawinan, persiapan melahirkan dan pendidikan anak sebelum menikah. "Buku wajib yang dibaca ini setara dengan kuliah satu semester, fundamen inilah yang membuat mereka cenderung lebih kuat mempertahankan perkawinan," kata Nasruddin.
Pada intinya, sudah seharusnya masyarakat atau pasangan muda-mudi dianjurkan untuk mempelajari dunia perkawinan dan masalah-masalah yang berkaitan soal itu terlebih dahulu, sebelum melangkah kearah pernikahan yang hakiki. Ini dimaksudkan untuk memberi pengetahuan yang dalam mengenai pernikahan.
Post a Comment